- Riba -
oleh : Tagor Mulya Lubis

Secara literal, riba bermakna tambahan (al-ziyadah). Sedangkan menurut istilah; Imam Ibnu al-‘Arabiy mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi. Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya. Di dalam kitab al-Mabsuuth, Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi, maka hal itu bertentangan dengan perkara yang menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram menurut syariat. Dalam Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah, disebutkan; menurut syariat, riba adalah aqad bathil dengan sifat tertentu, sama saja apakah di dalamnya ada tambahan maupun tidak. Perhatikanlah, anda memahami bahwa jual beli dirham dengan dirham yang pembayarannya ditunda adalah riba; dan di dalamnya tidak ada tambahan.

Di dalam Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan).

Dalam Kitab Hasyiyyah al-Bajairamiy ‘ala al-Khathiib disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan, maupun keduanya)”. Riba dibagi menjadi tiga macam; riba fadlal, riba yadd, riba nasaa`. Pengertian riba semacam ini juga disebutkan di dalam Kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat al-Faadz al-Minhaaj.

B.     Landasan Hukum Riba

1. Al-Qur’an

Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:

Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuki setan dengan terhuyung-huyung karena sentuhannnya. Yang demikian itu karena ia mengatakan: “Perdagangan itu sama dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barang siapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari memakan riba) maka itu ahli neraka akan kekal didalamnya.

Selanjutnya Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 276 yang berbunyi:

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”.

Selanjutnya Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 277 yang berbunyi:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala disisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Selanjutnya Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 278 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.

Selanjutnya Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 279 yang berbunyi:

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rosul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan harta riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Selanjutnya Allah berfirman dalam surat al-Imran ayat 130 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”.

Selanjutnya dalam surat an-Nisa ayat 161 yang berbunyi:

“Dan disebabkan memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya dank arena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.

Selanjtnya dalam surat ar-Rumm ayat 39 yang berbunyi:

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.

2. Al-Hadits

Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad yang berbunyi:

“Dari Abu Said al-Khudri ra, Rosulullah saw bersabda, “Janganlah melebih-lebihkan satu dengan lainnya; janganlah menjual perak untuk perak kecuali keduanya setara; dan jangan melebih-lebihkan satu dengan lainnya; dan jangan menjual sesuatu yang tidak tampak”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan Nasa’I yang berbunyi:

Dari Abu Said al-Khudri ra dan Abu Hurairah ra, bahwasanya seorang yang bekerja untuk Rosulullah saw di Khaibar, dating membawakan Rosulullah janih (kurma dengan kualitas istimewa). Kemudian Rosulullah bersabda: “Apakah buah kurma di Khaibar memiliki kualitas seperti ini semua?” orang itu menjawab, “Tidak demi Allah ya Rosulullah (seraya menjelaskan) mereka menjual satu sha’ untuk ditukar dengan dua atau tiga sha’ dengan kualitas seperti ini”. Maka Rosulullah bersabda, “Jangan lakukan itu, jual satu sha’ kurma (yang kualitasnya lebih rendah) dengan harga satu dirham dan gunakan hasil penjualan itu untuk membeli janih yang lain” lalu beliau bersabda, “Demikian pula dalam hal timbangannya”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi dan Ahmad yang berbunyi:

Dari Jubair ra, Rosulullah saw mencela penerima dan pembayar bunga orang yang mencatat begitu pula yang menyaksikannya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama-sama berada dalam dosa”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’I yang berbunyi:

Dari Jubair, Rosulullah bersabda, “Hendaknya seonggok makanan tersebut tidak dijual dengan seonggok makanan, dan (hendaknya) tidak dijual seonggok makanan dengan timbangan makanan yang telah ditentukan”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad yang berbunyi:

Dari Abu Sa’id ra katanya pada suatu ketika Bilal dating kepada Rosulullah saw membawa kurma Barni, lalu Rosulullah bertanya kepadanya: “Kurma siapa ini”, jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya, karena itu kutukar dua gantung dengan satu gantung kurma ini untuk makan Nabi saw”. Maka bersabda Rosulullah saw, “Inilah disebut riba jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’I yang berbunyi:

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rosulullah saw bersabda, “Emas dengan emas, biji dan zatnya harus sebanding timbangannya. Perak dengan perak, biji dan zatnya harus sebanding timbangannya. Garam dengan garam, kurma dengan kurma, bur dengan bu, syair dengan syai, sama dan sepadan. Maka siapa saja yang menambah atau minta tambahan, maka dia telah melakukan riba”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Malik yang berbunyi:

Dari Ibnu Syihab dan Malik Ibnu Aus Ibnu hadatsan, bahwa ia berusaha untuk menukar seratus dinar. Malik Ibnu Aus melanjutkan kisahnya, “Kemudian Thalhah ibnu Ubaidillah memanggilku lalu kami saling menawarkan hingga ia mau menukarkannya dariku; dan ia mengambil emas lalu membolakbalikkannya ditangannya. Kemudian ia berkata, “Tunggulah sampai datang bendaharaku, atau bendaharawatiku dari hutan” Imam syafi’I mengatakan, “Aku ragu” saat itu Umar mendengarnya, maka ia berkata, “Demi Allah janganlah kamu tinggalkan ia sebelum kamu menerima darinya”. Setelah itu Umar mengatakan bahwa Rosulullah saw pernah bersabda, “Emas dengan emas adalah riba kecuali secara serah terima, jewawut dengan jewawut adalah riba kecuali secara serah terima, buah-buahan dengan kurma adalah riba kecuali secara serah terima dan gandum dengan gandum adalah riba kecuali secara serah terima”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad yang berbunyi:

Dari Ubada bin Sami ra, Rosulullah saw bersabda, “Emas untuk emas, perak untuk perak, gandum untuk gandum. Barang siapa membayar lebih atau menerima lebih dia telah berbuat riba, pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa)”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ubadah bin Shamit yang berbunyi:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam dengan ukuran yang sebanding secara tunai. Apabila kelompok ini berbeda-beda (ukurannya) maka juallah sesuka kalian, apabila tunai”.

Selanjutnya Rosulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi:

Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwasanya Rosulullah saw telah membagi makan diantara mereka dengan pembagian yang berbeda. Yang satu melebihi yang lain. Kemudian Sa’id berkata, “Kami selalu (mengambil cara dengan) saling melebihkan diantara kami”. Kemudian Rosulullah saw melarang kami untuk saling memperjualbelikannya selain dengan timbangan (berat) yang sama, tidak melebihkan.

C.     Jenis-jenis Riba

Riba terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3) riba qaradl; (4) riba yadd.

Riba Nasii`ah. Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.

Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;

الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ

” Riba itu dalam nasi’ah”. (HR. Muslim dari Ibnu Abbas)

Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:

آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ

Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim).

Riba Fadlal. Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا

“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).

عن فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر دينارًا فيها ذهب وخرز، ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي صلّى الله عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“

“Dari Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga dua belas dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar. Hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)”. (HR Muslim dari Fudhalah)

Dari Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:

أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك الميزان“

“Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan di Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib (salah satu jenis kurma yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah saw bersabda, “Apakah semua kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah . Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua sha’ dari al-jam’ (salah satu jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga campuran kurma). Rasulullah saw bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi (tukarlah) yang setara atau juallah kurma (yang jelek itu) dan belilah (kurma yang bagus) dengan uang hasil penjualan itu. Demikianlah timbangan itu”. (HR Muslim).

Riba al-Yadd. Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan”  (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)

الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

“Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“. (Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13).

 

Riba Qardl. Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, ““Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker­ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. (HR. Imam Bukhari).

Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”. (HR. Imam Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.

Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba” (Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, (edisi terjemahan); jilid xii, hal. 113).

Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal. Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy- Lajnah Tsaqafiyyah)

 

D.    Bahaya Riba Dalam Ekonomi

Dominasi ribawi dalam perekonomian telah berdampak pada ketidakadilan pada berfluktuasinya tingkat inflasi dan berpotensi sebagai alat eksploitasi manusia mengarah pada ketidakadilan distribusi dan membawa pada marginalisasi kebenaran. Riba adalah tambahan nilai yang diperoleh dengan tanpa resiko dan bukan merupakan hadiah atau konpensasi kerja, oleh karena itu, riba dimungkinkan terjadi pada transaksi perdagangan atau pun keuangan.

Riba perdagangan (riba fadhl) timbul akibat perdagangan barang sejenis yang tidak memenuhi kreteria sama kualitas, dan sama waktu penyerahan, seperti dalam kasus jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Transaksi semacam ini dilarang didalam Islam karena mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan bagi kedua belah pihak dan berdampak pada ketidakadilan.

Dalam transaksi keuangan, eksploitasi maupun ketidakadilan juga mungkin terjadi dalam hal simpan pinjam. Misalnya, Islam melarang untuk mengenakan denda jika hutang telat dibayar. Karena prinsip hutang dalam hal ini adalah menolong orang lain dan tidak dibolehkan mengambil keuntungan dalam menolong orang lain. Dalam riba jahiliyah tersebut, potensi eksploitasi sangat tinggi. Disamping itu, mengambil keuntungan sepihak dalam transaksi keuangan juga dilarang dalam Islam, yang dikenal dengan istilah riba nasi’ah, dimana ada kesepakatan untuk membayar bunga dalam transaksi hutang piutang atau pembiayaan. Dalam hal ini satu pihak mendapatkan keuntungan yang sudah pasti, sedangkan pihak lain hanya menikmati sisa keuntunngannya. Jelas hal ini tidaklah adil.

Sungguh menghalalkan riba adalah kerusakan paling besar terhadap moral dalam lingkungan masyarakat. Riba menyuburkan sifat rakus dan kesemena-menaan. Juga memudahkan berkembangnya sifat materialisme manusia yang tidak memikirkan hal lain kecuali memperbanyak dan minimbun harta tanpa memperdulikan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya.

Kebanyakan orang yang mau dan menerima serta tunduk pada aturan-aturan riba adalah orang-orang yang tidak punya atau yang sedang memiliki kebutuhan tertentu. Pemberi hutang akan menunda untuk menerima pembayaran dari mereka dan akan bersabar dengan adanya tambahan yang dipersyaratkan atau yang dijanjikan. Dampaknya akan terasa semakin besar apabila pada saat jatuh tempo, yang bersangkutan tidak dapat melunasi hutangnya. Sehingga yang dibebankan kepada yang penerima hutang. Akibatnya, harta pemberi pijaman semakin membengkak tanpa dimanfaatkan oleh sesamanya. Dengan demikian, ia pun tanpa segan-segan memakan harta sesamanya secara bathil.

Karena bunga inilah, ungkap Syaid Quthb, bisnis dan industri terpaksa melakukan proyek yang harus menguntungkan, yakni proyek yang melampaui batas bunga dari modal yang mereka pinjam, tanpa melihat lagi apakah utang itu dipergunakan untuk sesuatu yang jahat atau untuk kepentingan masyarakat. Riba tulisnya, meliputi makna keuntungan atau manfaat yang diperoleh dalam masalah moneter atau hanya sekedar manfaat saja. Dengan demikian, modal mengalir pada investasi yang dianggap mampu memberikan garansi realisasi maksimal untuk tujuan ini, tanpa memperhatikan lagi pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Jika modal yang dipinjamkan mematok bunga enam persen misalnya, maka dia harus melakukan investasi dalam perdagangan dimana marginnya harus lebih dari enam persen. Makanya, tidak mengherankan jika pembangunan rumah-rumah rakyat kecil banyak ditinggalkan dan dia akan memilih membangun gedung bioskop karena dianggap lebih banyak mendatangkan keuntungan.

Praktik riba ini, menurut Syaid Quthb, juga akan menimbulkan kerugian pada kesadaran dan moralitas para pelaku bisnis. Beban bunga akan membuat dia membutuhkan banyak keuntungan yang demikian dari sesamanya. Baginya kini, tidak ada pilihan lain kecuali harus menginvestasikan dalam sebuah bisnis yang akan memberikan jaminan yang cukup untuk menutupi beban bunga dan sekaligus bisa menabung untuk kepentingan dirinya sendiri. Dengan demikian, pilihannya selalu pada sesuatu yang menguntungkan dari pada yang mendatangkan manfaat pada orang banyak.

Riba kata Imam ar-Razi, menhancurkan nilai dan tidak pentingnya kerja, karena riba membuka jalan hidup dengan menghasilkan uang tanpa kerja. Penambahan dan akumulasi kekayaan tanpa usaha dan keluar keringat, tulis Quraisy, menimbulkan kebencian dan permusuhan, korupsi serta berbagai kejahatan social yang lain.

Karena itu kata Endy Astiwara, terdapat tiga karakteristik mendasar yang terkandung dalam riba, yaitu:

1.       Sifatnya yang berganda, dalam hal ini, para pengambil kebijakan dan pemegang otoritas keuangan atau yang lebih tepat lagi yaitu para pemilik dan akan selalu berusaha membuat system dengan bunga yang lebih tinggi dari permintaan debitur. Dengan demikian, debitur selalu berutang, baik material maupun immaterial. System seperti ini dilakukan oleh para kreditur individu, institusi dan Negara-negara maju terhadap Negara dunia ketiga.

2.       Sifatnya yang menganiaya terhadap mitra bisnis, karena disatu pihak memperoleh pokok dan imbuhannya, tapi pihak lainnya harus membayar kewajiban pokok dan bunganya. Meskipun demikian, yang terakhir ini tidak mendapat perolehan yang cukup untuk membayar bunga tersebut. Dengan demikian, sifat intrinsik yang terkandung didalam riba meskipun diantara kedua pihak saling merelakan diri untuk bersikap zalim dan dizalimi.

3.       Melumpuhkan dunia bisnis, menggerakkan sektor riil. Hal ini disebabkan bagi pihak yang memiliki banyak dana, merasa lebih senang meminjamkan uangnya (melalui bank atau yang lainnya) dari pada harus berpikir keras dan bekerja banting tulang. Sementara pihak eksekutif atau professional merasa peluang untuk memajukan dan mengembangkan bisnisnya menjadi semakain kecil, karena harus membayar bunga yang cukup tinggi dan tetap, pada hal keuntungan niaganya masih belum menentu. Pada kelompok pertama enggan berusaha dan kelompok kedua tidak berani mengambil resiko financial.

Demikian bahaya riba dalam perekonomian yang dapat menyengsarakan masyarakat luas. Oleh sebab itu, riba bukan hanya dilarang tetapi juga sangat dibenci atau diperangi oleh Allah dan Rosul-Ny. Al-Qur’an menyatakan ungkapan bahwa pemakan riba ini laksana orang yang tidak lagi menggunakan akal warasnya.

    silakan tinggalkan komentar anda