Ekonomi Syariah

Picture
Syari’ah Islam sebagai suatu syari’ah yang dibawa oleh Rosul terakhir, mempunyai keunikan tersendiri. Syari’ah ini bukan saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal. Karekter istimewa ini diperlukan sebab tidak akan ada syari’ah lain yang datang untuk menyempurnakannya.

Komprehensif berarti syari’ah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Adapun muamalah diturunkan untuk menjaga rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial. Kelengkapan sistem muamalah yang disampaikan Rosulullah.

Universal bermakna syari’ah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir nanti. Universal ini tampak jelas terutama pada bidang muamalah. Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel, muamalah tidak membeda-bedakan antara muslim dan nonmuslim. Sifat muamalah ini dimungkinkan karena Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai tsawabit wa mutaghayyirat (principles and variables)[1].

Dewasa ini masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor prnghambat pembangunan. Pandangan ini berasal dari para pemikir barat. Meskipun demikian tidak sedikit intelektual muslim yang juga meyakininya.

Kesimpulan yang agak tergesa-gesa hampir dapat dipastikan timbul karena kesalah pahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah yang diantaranya industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian[2].

Sejalan dengan kehadiran bank yang berlandaskan syari’ah di Indonesia masih relatif baru, yaitu baru pada awal 1990-an. Meskipun masyarakat Indonesia merupakan masyarakat muslim terbesar di dunia. Prakarsa untuk mendirikan bank syari’ah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990. Namun diskusi tentang bank syari’ah sebagai basis ekonomi Islam sudah mulai dilakukan pada awal tahun 1980.

Berangkat dari hal tersebut diatas, bank syari’ah pertama di Indonesia merupakan hasil kerja tim perbankan  MUI yaitu dengan dibentuknya PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang akte pendiriannya ditandatangani tanggal 01 November 1991, bank ini ternyata berkembang cukup pesat sehingga saat ini BMI sudah memiliki puluhan cabang yang tersebar dibeberapa kota besar[3].

Jika dikaitkan dengan dominasi ribawi dalam perekonomian telah berdampak pada ketidakadilan pada berfluktuasinya tingkat inflasi dan berpotensi sebagai alat eksploitasi manusia yang mengarah pada ketidakadilan distribusi dan membawa pada marginalisasi kebenaran. Riba adalah tambahan nilai yang diperoleh dengan tanpa resiko dan bukan merupakan hadiah atau konpensasi kerja, oleh karena itu, riba dimungkinkan terjadi pada transaksi keuangan.

Dalam transaksi keuangan, eksploitasi maupun ketidakadilan mungkin terjadi dalam hal simpan pinjam. Misalnya, Islam melarang untuk mengenakan denda jika hutang telat dibayar. Karena prinsip hutang dalam hal ini adalah menolong orang lain dan tidak dibolehkan mengambil keuntungan dalam menolong orang lain. Dalam riba jahiliyah tersebut, potensi eksploitasi sangat tinggi. Disamping itu, mengambil keuntungan sepihak dalam transaksi keuangan juga dilarang dalam Islam, yang dikenal dengan istilah riba nasi’ah, dimana ada kesepakatan untuk membayar bunga dalam transaksi hutang piutang atau pembiayaan. Dalam hal ini satu pihak mendapatkan keuntungan yang sudah pasti, sedangkan pihak lain hanya menikmati sisa keuntungannya. Jelas hal ini tidaklah adil[4].

Sungguh menghalalkan riba adalah kerusakan paling besar terhadap moral dalam lingkungan masyarakat. Riba menyuburkan sifat rakus dan kesemena-menaan. Juga memudahkan berkembangnya sifat materialisme manusia yang tidak memikirkan hal lain kecuali memperbanyak dan minimbun harta tanpa memperdulikan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya.

Kebanyakan orang yang mau dan menerima serta tunduk pada aturan-aturan riba adalah orang-orang yang tidak punya atau yang sedang memiliki kebutuhan tertentu. Pemberi hutang akan menunda untuk menerima pembayaran dari mereka dan akan bersabar dengan adanya tambahan yang dipersyaratkan atau yang dijanjikan. Dampaknya akan terasa semakin besar apabila pada saat jatuh tempo, yang bersangkutan tidak dapat melunasi hutangnya. Sehingga yang dibebankan kepada yang penerima hutang. Akibatnya, harta pemberi pijaman semakin membengkak tanpa dimanfaatkan oleh sesamanya. Dengan demikian, tanpa segan-segan memakan harta sesamanya secara bathil[5].

Berangkat dari hal tersebut diatas, bank syari’ah merupakan lembaga strategi yang berupaya mengejawantahkan nilai-nilai ekonomi Islam dalam lembaga formal keuangan Islami. Berbagai kekurangan seperti masih sempitnya pandangan masyarakat (dan juga tokohnya) terhadap masalah riba; belum mengertinya masyarakat akan eksistensi dan nilai yang terkandung dalam bank syari’ah; kurangnya perangkat regulasi yang mendukung beroperasinya bank syari’ah; langkanya profesional yang memiliki pemahaman dan pengalaman (juga integritas) dalam perbankan syari’ah. Berangkat dari kekurangan-kekurangan tersebut hendaknya dibuat rencana kerja yang terpadu dan berkesinambungan oleh berbagai pihak yang terkait. Baik bank sentral, lembaga-lembaga pendidikan serta bank-bank Islam itu sendiri[6].

Sistem keuangan Islam, yang berpilarkan prinsip bagi hasil sebagai pengganti prinsip bunga, mendudukan perbankan tidak hanya sebagai lembaga intermediasi keuangan, tetapi lebih pada lembaga intermediasi investasi. Hal ini karena hubungan antara bank syari’ah dengan nasabah lebih dominan pada hubungan pemodal pengusaha atau modal ventura dari pada kreditor-debitor. Oleh karenanya, sistem keuangan Islam yang ideal akan ditandai oleh sinergi antara sektor keuangan dan sektor riil. Melemahnya produktifitas sektor riil akan secara langsung dirasakan pula oleh sektor keuangan karena bagi hasil yang akan diterima oleh perbankan akan menurun. Begitu juga, bagi hasil yang akan diberikan oleh perbankan syari’ah kepada pemodal (deposan atau penabung) juga akan menurun. Sebaliknya, jika sektor riil mengalami peningkatan produksi, maka dampaknya akan langsung dirasakan oleh sektor keuangan. Dengan demikian, jika sistem bagi hasil ini dapat berjalan dengan efisien, maka pertumbuhan ekonomi semu tidak akan terjadi dan investasi akan menuju pada proyek-proyek yang efisien. Tentunya, hal ini akan terwujud jika sistem ekonomi telah didukung dengan budaya masyarakat dan sistem legal serta administrasi yang sesuai syari’ah Islam[7].

Berangkat dari hal tersebut diatas, peran dan kinerja perbankan syari’ah tidak akan optimal tanpa didukung oleh sistem keuangan yang tangguh (robust financial system). Sistem keuangan yang tangguh harus mampu menghindari dan memecahkan masalah keuangan yang dihadapi, yaitu potensi adanya resiko bank run, resiko kelebihan atau kekurangan likuiditas perbankan dan resiko terhadap buruknya pelayanan yang diberikan oleh bank. Berangkat dari hal inilah, maka diperlukan institusi-institusi pendukung dalam sistem keuangan[8].

Setiap produk perbankan yang diluncurkan ke pasar tidak selalu mendapatkan respon yang positif. Bahkan cenderung mengalami kegagalan jauh lebih besar dibandingkan keberhasilannya. Untuk mengantisipasi agar produk yang diluncurkan berhasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka peluncuran produk diperlukan strategi-strategi tertentu. Khusus yang berkaitan dengan produk, strategi ini dikenal dengan nama strategi pengembangan produk perbankan[9].

[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: dari Teoritik ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 4

[2] Ibid. h. 3

[3] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-8, h. 178 - 179

[4] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2005),  h. 1 - 2

[5] Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, (Pakistan: The International Institute of Islamic Thought, 1995), h. 135

[6] Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 33

[7]Heri Sudarsono, Op.cit. h. 6 - 7

[8] Ibid, h. 8

[9] Kasmir, Pemasaran Bank, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. Ke-2, h. 141

    silakan tinggalkan komentar anda